Bitcoin

Saturday, May 12, 2012

Hang Tuah

nama Hang Tuah sebetulnya dah lama saya dengar, saya hanya tahu nya dia nya seorang tokoh karena nama Hang Tuah banyak dipakai sebagai nama jalan (Jl. Hang Tuah), nama yayasan, nama sekolah/perguruan. Sempat terpikir siapakah dia ini karena disetiap kota namanya diabadikan sebagai nama jalan, perguruan/yayasan sedangkan di pelajaran sejarah dari SD sampai SMA saya tidak mendengar namanya disebut - sebut.
Akhir - akhir ini saya lagi terpesona dengan lagu 50's (Said Effendi, Sam Saimun, Ismail Marzuki, etc) dan rentak melayu yang dibawakan oleh Iyeth Bustami. Salah satu lagu yang dibawakan Iyeth Bustami berjudul "Hang Tuah" ciptaan Husni Thamrin, barulah saya tergelitik untuk mencari tahu siapa sebenarnya Hang Tuah :D.

"Hang Tuah"
Cipt : Husni Thamrin
Vocal : Iyeth Bustami

Dang Merdu bunda berjasa
Melahirkan putra perkasa
Hang Tuah laksamana satria
Teladan negeri dan bangsa

Dari Bintan Kepulauan Riau
Gaung baktimu ke segenap rantau
Walau kini engkau telah tiada
Fatwamu tiada kan sirna

Tuah sakti hamba negeri
Esa hilang dua terbilang
Patah tumbuh hilang kan berganti
Takkan Melayu hilang di bumi

Engkau susun jari sepuluh
Menghatur sembah duduk bersimpuh
Halus budi resam Melayu
Hang Tuah ooo... Hang Tuah

Karena penasaran dengan "Hang Tuah" makanya saya seraching dengan keyword "Hang Tuah" akhirnya saya menemukan mulai dari puisi, hikayat yang mempunyai banyak versi. Malah ada yang mempertanyakan apakah Hang Tuah ini sekadar Hikayat atau merupakan sejarah.
Puisi tentang "Hang Tuah" yang saya temukan adalah karya Amir Hamzah seorang sastrawan Pujangga Baru.

"Hang Tuah"
Cipt: Amir Hamzah

Bayu berpuput alun digulung
Bayu direbut buih dibubung

Selat Melaka ombaknya memecah
Pukul Memukul belah membelah

Bahtera ditepuk buritan dilanda
Penjajah dihantuk haluan ditunda

Camar terbang riuh suara
Alkamar hilang menyelam segara

Armada Peringgi lari bersusun
Melaka negeri hendak diruntun

Gulyas dan pusta tinggi dan kukuh
Pantas dan angkara ranggi dan angkuh

Melaka! Laksana kehilangan bapa
Randa! Sibuk mencari cendera mata!

Hang Tuah! Hang Tuah! Dimana dia?
Panggilkan aku Kesuma Perwira!

Tuanku Sultan Melaka, maharaja bintan
Dengarkan kata Bentara Kanan

"Tun Tuah, di Majapahit nama termasyhur,
badan sakit rasakan hancur!"

Wah, alahlah rupanya negara Melaka
Karena Laksamana ditimpa mara

Tetapi engkau wahai kesturi
Ku jadikan suluh, mampukah diri?

Hujan rintik membasahi bumi
Guruh mendayu menyedihkan hati

Keluarlah suluh menyusun pantai
Angkatan Portugal hajat diintai

Cucuk diserang ditikam seligi
Sauh terbang dilempari sekali

Lela dipasang gemuruh suara
Rasakan terbang ruh dan nyawa

Suluh Melaka jumlah kecil
Undur segera mana yang tampil

"Tuanku, armada peringgi sudahlah dekat
Kita keluar dengan cepat

Hang Tuah coba lihati
Apakah 'afiat rasanya diri?"

Laksamana Hang Tuah mendengar berita
Armada Peringgi duduk di kuala

Minta didirikan dengan segera
Hendak berjalan ke hadapan raja

Negeri Melaka hidup kembali
Bukanlah itu Laksamana sendiri

Laksamana, cahaya Melaka, bunga Pahlawan
Kemala setia maralah Tuan

Tuanku jadikan patik tolak bala
Turunkan angkatan dengan segera

Genderang perang disurunya palu
Memanggil imbang iramanya tentu

Keluarlah Laksamana mahkota ratu
Tinggallah Melaka didalam ragu ...

Marya! Marya! Tempik peringgi
Lela pun meletup berganti - ganti

Terang cuaca berganti kelam
Bujang Melaka sukma di selat!

Amuk-beramuk buru-memburu
Tusuk-menusuk laru-meluru

Lela rentak berputar-putar
Cahaya senjata bersinar-sinar

Laksamana mengamuk diatas pusta
Yu menyambar umpamanya nyata

Hijau segara bertukar warna
Silau senjata pengantar nyawa

Hang Tuah empat berkawan
Serangnya hebat tiada tertahan

Cucuk peringgi menarik layar
Induk dicari tempat berhindar

Angkatan besar maju segera
Mendapatkan payar ratu

Melaka Perang ramai berlipat ganda
Pencalang berai temapat ke segala

Dan Gubernur memasang lela
Umpama guntur di terang cuaca

Peluru terbang menuju bahtera
Laksamana dijulang ke dalam segara.

Yup itu adalah puisi dari Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera seorang sastrawan angkatan Pujangga Baru dan Pahlawan Nasional. Berdasarkan hasil searching dapat saya simpulkan bahwa "Hang Tuah" adalah seorang tokoh yang sangat berpengaruh di dunia/peradaban Melayu. Kenapa saya hanya menyimpulkan sebatas itu karena banyaknya versi yang beredar baik itu di Malaysia maupun di Indonesia.

Di wikipedia disebutkan bahwa penggambaran Hang Tuah dari beberapa versi Sulalatus Salatin berbeda, ada yang menyebutkan bahwa ia dahulunya adalah seorang nelayan miskin, sementara versi lain menyebutkan bahwa ia berasal dari keturunan bangsawan Makassar.
Pada masa mudanya, Hang Tuah beserta empat teman seperjuangannya, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu membunuh sekelompok bandit-bandit dan dua orang yang berjaya menghancurkan desa dengan amarahnya. Bendahara (sederajat dengan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan sekarang) daripada Melaka mengetahui kehebatan mereka dan mengambil mereka untuk berkerja di istana.
Semasa ia bekerja di istana, Hang Tuah membunuh seseorang petarung dari Jawa yang terkenal dengan sebutan Taming Sari, yang dibawah pemerintahan Kerajaan Majapahit, Konon Taming Sari dikenal pandai berkelahi,kebal senjata dan dapat menghilang,kemudian dilawan oleh Hang Tuah diketahui yang membuat Taming Sari sakti terletak pada kerisnya, Hang Tuah berhasil merebut keris tersebut kemudian membunuh Taming Sari. Kemudian keris tesebut diambil Hang Tuah dan diberi nama Taming Sari, setelah menjadi kepunyaannya dan dipercayakan bahwa keris itu dapat berkuasa kepada pemiliknya untuk menjadi hilang.
Hang Tuah dituduh berzinah dengan pelayan Raja, dan didalam keputusan yang cepat, Raja menghukum mati Laksamana yang tidak bersalah. Namun, hukuman mati tidak pernah dikeluarkan, karena Hang Tuah dikirim ke sebuah tempat yang jauh untuk bersembunyi oleh Bendahara.
Setelah mengetahui bahwa Hang Tuah akan mati, teman seperjuangan Hang Tuah, Hang Jebat, dengan murka ia membalas dendam melawan raja, mengakibatkan semua rakyat di situ menjadi kacau-balau. Raja menyesal menghukum mati Hang Tuah, karena dialah satu-satunya yang dapat diandalkan untuk membunuh Hang Jebat.
Secara tiba-tiba, Bendahara memanggil kembali Hang Tuah daripada tempat persembunyiannya dan dibebaskan secara penuh daripada hukumannya oleh raja. Setelah tujuh hari bertarung, Hang Tuah merebut kembali keris Taming Sarinya dari Hang Jebat, dan membunuhnya di dalam pertarungannya. Setelah teman seperjuangannya gugur, Hang Tuah menghilang dan tidak pernah terlihat kembali.

Versi yang dari wikipedia ini kurang memuaskan rasa penasaran saya, maka dari itu saya seraching dan mendapatkan hikayat Hang Tuah, Pada masa lalu, dikenal seorang kesatria bernama Hang Tuah. Ketika masih anak-anak, ia beserta orang tuanya, Hang Mahnud dan Dang Merdu, menetap di Pulau Bintan. Pulau ini berada di perairan Riau, dengan rajanya bernama Sang Maniaka, putra dari Sang Sapurba, raja besar yang bermahligai di Bukit Siguntang. (red: Bukit Siguntang??? Bukit Siguntang yang di Palembang kah??)
Hang Mahmue berfirasat bahwa kelak anaknya akan menjadi seorang tokoh yang terkemuka. Saat berumur sepuluh tahun, Hang Tuah sudah pergi berlayar ke Laut Cina Selatan dengan disertai oleh empat orang sahabat karibnya, yaitu Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Dalam perjalanannya, mereka berkali-kali diganggu dan diserang oleh gerombolan lanun. Dengan segala keberaniannya, kelima sahabat itu mampu mengalahkan lanun-lanun yang terbilang ganas dan sadis dan berkuasa di tengah laut dengan merampok harta benda kapal-kapal yang lewat. Kabar keberanian mereka terdengar sampah ke telinga Bendahara Paduka Raja Bintan, dan sangat kagum terhadap keberanian mereka.
Suatu ketika, Hang Tuah dan keempat sahabatnya berhasil mengalahkan empat pengamuk yang berbuat huru hara dan menyerang Datuk Bendahara. Kelima sahabat itu kemudian dijadikan anak angkat Datuk Bendahara. Kehebatan dan keberanian kelima sahabat itu juga disampaikan Datuk Bendahara kepada Baginda Raja Syah Alam, yang mengangkat mereka sebagai anak angkat Baginda juga.
Beberapa tahun kemudian, Baginda Raja berniat mencari daerah baru sebagai pusat kerajaan. Ia beserta punggawa kerajaan, termasuk Hang Tuah dan para sahabatnya, melancong ke sekitar Selat Melaka dan Selat Temasek. Rombongan akhirnya singgah di Pulau Ledang. Di sana rombongan melhat seekor pelanduk (kancil) berwarna putih, yang sangat sulit untuk ditangkap. Menurut petuah orang tua-tua, jika menemui pelanduk putih di suatu hutan maka tempat itu sangat bagus dibuat negeri. Akhirnya di sana dibangun sebuah negeri yang diberi nama Melaka, sesuai nama pohon Melaka yang ditemukan di tempat itu (laaah versi lain menyatakan kalau yang mendirikan kerjaan Melaka dan menemukan Temasek adalah Parameswara dari kerajaan Sriwijaya yang melarikan diri dari serangan Majapahit .... yg mana yang benar yaak ???)
Setelah beberapa lama memerintah, Baginda Raja yang masih perjaka itu bermaksud meminang putri cantik Datuk Bendahara Seri Benua dari Kerajaan Indrapura, bernama Tun Teja. Namun sayangnya, Tun Teja menolak pinangan itu. Tidak berputus asa, karena tidak berjodoh dengan putri dari Kerajaan Indrapura, Baginda Raja kemudian meminang Putri tunggal Seri Betara Majapahit, seorang raja yang sangat berkuasa. Putrinya bernama Raden Galuh Mas Ayu, menerima pinangan Baginda Raja dan menjadi Permaisuri Kerajaan Melaka.
Alkisah, sehari menjelang pernikahan, di istana Majapahit terjadi kegaduhan, yakni seorang perajurit Majapahit yang sudah berumur tua tapi teramat tangguh, bernama Taming Sari berbuat onar, mengamuk tanpa sebab musabab. Hang Tuah kemudian berusaha menghadang dan menghentikan amuk lelaki tua itu. Konon ia tidak mempan dengan senjata apapun. Hang Tuah bersiasat, yakni dengan cara menukarkan kerisnya dengan keris Taming Sari. Setelah keris bertukar, Hang Tuah kemudian berkali-kali menghunjamkan keris sakti ke tubuh perajurit handal Majapahit itu yang juga bernama Taming Sari. Lelaki perkasa itupun akhirnya rubuh bersimbah darah dikalahkan oleh Hang Tuah, dengan senjatanya sendiri. Hang Tuah kemudian diberi gelar kepahlawanan dengan menyandang nama Laksamana Hang Tuah dan keris Taming Sari dihadiahkan Seri Betara Majapahit kepada kesatria Melayu itu.
Baginda Raja bersama permaisuri dan rombongannya kemudian kembali ke Melaka. Selama bertahun-tahun negeri ini aman dan tenteram. Hang Tuah menjadi Laksamana yang amat setia kepada raja. Hal ini membuat rasa iri dan dengki perajurit dan pegawai istana. Suatu ketika tersebar fitnah yang menyebutkan Hang Tuah telah berbuat tidak sopan dengan seorang dayang istana. Penyebar fitnah itu adalah Patih Kerma Wijaya, yang sebenarnya merasa iri kepada sang Laksamana. Baginda Raja menjadi murka mendengar kabar itu dan memerintahkan Bendahara Paduka Raja agar mengusir Hang Tuah. Tuan Bendahara sebenarnya enggan melaksanakan titah Baginda, karena beliau tahu Hang Tuah tidak bersalah. Tuan Bendahara menyarankan agar Hang Tuah cepat-cepat meninggalkan Melaka dan pergi ke Indrapura.
Di Indrapura, Hang Tuah mengenal seorang perempuan tua bernama Dang Ratna, inang Tun Teja, yang kemudian menjadi ibu angkat Hang Tuah. Hang Tuah memohon agar Dang Ratna untuk menyampaikan pesan kepada Tun Teja agar mau menyayangi dirinya. Hal mana kemudian diterima dengan baik oleh Tun Teja dan mereka kemudian menjadi sangat akrab.
Suatu waktu, Indrapura kedatangan perahu Melaka yang dipimpin oleh Tun Ratna Diraja dan Tun Bija Sura yang sengaja datang untuk menjemput Hang Tuah agar bersedia kembali ke Kerajaan Melaka. Hang Tuah dengan kebesaran hati dan rasa cintanya di tanah Melaka memenuhi permintaan itu. Dia bersama Ibu angkatnya Dang Ratna dan bersama Tun Teja kembali ke Melaka. Sesampainya di Melaka, yang telah cukup lama ditinggalkanya, Hang Tuah bersimpuh menemui Baginda Raja, sembari memohon maaf Hang Tuah berkata “Mohon maaf Tuanku, selama ini hamba tinggal di Indrapura. Hamba kembali ke Melaka untuk tetap mengabdikan diri setia kepada Baginda. Dang Ratna juga menyampaikan maafnya, dan menyatakan mereka datang bersama Tun Teja, yang dahulunya telah menjadi idaman Baginda Raja. Atas persetujuan, kedua insan itu akhirnya menjalin ikatan sebagai suami isteri. Dan Tun Teja,bersedia menjadi isteri kedua Baginda Raja, meskipun sebenarnya Tun Teja telah menaruh hati terhadap Hang Tuah. Namun jodoh berkata lain. Adapun Hang Tuah, kembali menjabat sebagai Laksamana kerajaan Melaka.
Setelah bertahun-tahun mengabdi di Melaka, kembali fitnah menimpa Hang Tuah. Baginda Raja teramat murka. Tak menyangka Hang Tuah kembali melakukan tindakan durjana. Baginda kali ini bahkan meminta Tuan Bendahara agar Hang Tuah dihukum mati. Betapapun, Tuan Bendahara tak sampai hati melakukan titah Baginda Raja untuk membunuh Hang Tuah yang tidak bersalah. Hal mana kemudian Laksamana Hang Tuah diminta meninggalkan Melaka dan mengungsi ke Hulu Melaka. Sebelum beranjak untuk kedua kalinya meninggalkan Melaka, Hang Tuah menitipkan keris Taming Sari ke Tuan Bendahara agar diserahkan kepada Baginda Raja.
Sepeninggal Hang Tuah, Baginda Raja kemudian menunjuk Hang Jebat sebagai Laksamana. Baginda menyerahkan keris Taming Sari kepada Hang Jebat. Sepeninggal Hang Tuah, sahabatnya Hang Jebat lupa diri dan menjadi mabuk kekuasaan. Ia bertindak sewenang-wenang. Bertindak tidak sopan terhadap para pembesar kerajaan, apalagi terhadap dayang-dayang dan rakyat jelata. Konon, dia berbuat demikian karena kecewa terhadap Baginda Raja yang telah mengusir Hang Tuah dari kerajaan Melaka. Banyak orang yang telah memberikan nasihat dan fatwa tapi Hang Tuah tak beranjak dari berbuat angkara. Bahkan bujukan dari sahabatnya Hang Kasturi, Hang Lekir dan Hang Lekiu tiada pula ditampiknya. Dia tetap keras kepala dan tetap berbuat onar dengan berbagai perbuatan durjana. Tentu saja, Baginda Raja menjadi gusar melihat tingkah laku Hang Jebat yang semakin menjadi-jadi. Apatah lagi, tak seorang pun yang sanggup dan mampu mengalahkan Hang jebat. Banyak yang sudah menjadi korban. Para pendekar dan prajurit istana pun tak kuasa mengalahkannya. Akhirnya, Baginda lalu teringat kepada Laksamana Hang Tuah. Gayung bersambut, kembali Tuan Bendahara bercerita yang sebenarnya bahwa Hang Tuah tiada dibunuh, namun mengungsi ke Hulu Melaka. Baginda dengan teramat sangat menitahkan Tuan Bendahara kembali menjemput Hang Tuah, dengan maksud dapat menghentikan tindakan tercela Hang Jebat yang durhaka. Kesetiaan tiada tara kepada kerajaan Melaka, membuat Hang Tuah bersedia kembali ke istana.
Kedua sahabat yang lama berpisah akhirnya bertemu, namun dalam suasana berbeda. Tak ada jalan lain, keduanya saling menunjukkan kedigjayaanya. Dengan keris pemberian Baginda Raja bernama Purung Sari, Hang Tuah berlaga dengan Hang Jebat yang punya kekuatan mumpuni, karena keris sakti Tameng Sari berada ditangannya. Ironis, dua sahabat bertarung sampai mati. Yang satu karena setia, yang lainnya karena mendurhaka kepada Baginda Raja. Pertempuran yang sangat hebat, apatah lagi Hang Jebat memperoleh kesaktian ganda dari keris Tameng Sari yang pernah dimiliki Hang Tuah. Namun, pada akhirnya yang salah, pasti binasa. Keris Taming Sari dapat direbut Hang Tuah, dan menusuknya ke tubuh sahabatnya Hang Jebat. Jebat pun mati berkalang tanah oleh sahabatnya sendiri dan menghabiskan nafas penghabisan dipangkuan Laksamana Hang Tuah.
Setelah kematian Hang Jebat, kerajaan Melaka kembali aman sentosa. Hang Tuah kembali menyandang gelar Laksamana Melaka. Pada tahun-tahun itu kerajaan Melaka menjadi negeri yang tentram dan ramai dengan kegiatan perdagangan antarbangsa. Laksamana Hang Tuah sering melawat ke negeri Judah, dan negeri Rum untuk memperluas pengaruh kerajaan Melaka di seluruh dunia.
Baginda Raja suatu ketika berkenan mengirimkan utusan dagang ke kerajaan Bijaya Nagaram di India, dan tentu saja, Laksamana Hang Tuah-lah yang memimpin duta kerajaan. Armada yang dipimpin Hang Tuah sempat melanjutkan perjalanan usaha dan muhibahnya itu setelah dari India ke negeri Cina. Di sana mereka rupanya mendapat perlakuan yang kurang baik dan berselisih dengan orang-orang dari Portugis di pelabuhan negeri Cina.
Orang-orang Portugis yang sombong dan angkuh tersebut tidak terima armada dari negeri Melayu itu melabuhkan kapalnya di samping kapal mereka yang memang lebih besar serta dengan peralatan dan navigasi terbaik pada masa itu. Namun, Hang Tuah tidak meladeni tindakan melecehkan dari para awak kapal asing itu, mengingat pula kapalnya berada di perairan negeri Cina, dia tidak mau nantinya terjadi bentrokan antara kedua belah pihak. Setelah menghadap Raja Cina dan bersilaturahmi dengan para pembesar negeri tersebut dengan saling menyerahkan cindera mata, rombongan Hang Tuah kemudian melanjutkan perjalanannya kembali ke Melaka.
Namun, rupanya di tengah perjalanan mereka diserang kapal-kapal Portugis yang memang sengaja menunggu dan ingin melampiaskan dendam mereka atas kejadian di pelabuhan Cina. Hang Tuah pun melayani kehendak bangsa Portugis, dan memberikan perlawanan. Layar telah dikembangkan, pantang kapal surut ke belakang. Hang Tuah dan perajuritnya berhasil mengalahkan armada Portugis. Bahkan Kapten dan seorang perwira Portugis melarikan diri ke Manila, Filipina. Dan, rombongan muhibah Laksamana Hang Tuah tiba dengan selamat di Melaka.
Suatu hari Raja Melaka beserta permaisuri dan seluruh pemangku kerajaan mengadakan acara wisata bersama ke Temasek, tentu saja Hang Tuah ikut serta mengawal dan mengiringi perjalanan Baginda Raja Shah Alam, di mana Tuan Bendahara juga turut serta. Ketika sampai di Selat Singapura, Raja melihat seekor ikan yang sebelumnya tidak pernah dilihat Baginda, ikan bersisik emas dengan bermatakan mutu manikam disekitar kapal. Ketika asyik terpana melihat ke permukaan air, mahkota Raja terjatuh ke laut Selat Singapura. Hal mana Hang Tuah pun sigap bertindak langsung terjun dan menyelam ke dasar laut. Ia berhasik mengambil mahkota itu tetapi sesuatu terjadi juga secara serta merta. Seekor buaya putih besar menyambarnya, sehingga mahkota terlepas dari tangannya, begitu pula keris Tameng Sari. Tiba-tiba saja buaya putih tersebut hilang ke dalam laut meskipun dengan kemampuan yang ada, Hang Tuah tidak dapat mengejar buaya putih yang bersama mahkota Raja serta keris sakti Tameng Sari tidak pula bisa ditemukan. Lenyap begitu saja.
Sejak kejadian itu, apatah lagi Baginda Raja kehilangan mahkota lambang singgasana kerajaan Melaka dan Laksamana Hang Tuah tidak bisa lagi menyelipkan keris Tameng Sari sebagai sahabat perisai diri. Keduannya menjadi murung, makan tak sedap tidur pun tiada lena. Badan dan tubuh menjadi sakit karenanya.
Sementara itu, jauh di benua lain, Gubernur Portugis yang berada di Manila merasa terhina dan marah besar atas laporan kekalahan perwiranya hingga lari dari pertempuran dihajar Laksamana Hang Tuah. Dia pun tak mau malu dan harus menebus kekalahan itu. Mereka menyiapkan armada tempur dengan peralatan persenjataan yang lengkap, ratusan meriam, 18 kapal dan 1.500 tentara yang telah beberapa bulan pula dilatih dengan seksama.
Di Selat Melaka, armada Portugis yang tersisa. Mereka hanya menembak angin tanpa manusia. Seluruh perahu petinggi dan tentara Melaka kembali ke kerajaan. Membiarkan pasukan Portugis membuang peluru dan mesiunya dengan sia-sia. Melihat hal yang demikian, pada akhirnya pasukan Portugis yang tidak seberapa lagi itu, dengan banyak pemimpinnya yang terluka, tak urung menarik sauh armadanya dan bergegas kembali ke Manila. Konon, pertempuran yang terjadi antara kedua belah pihak itu tanpa ada yang menang atau yang kalah. Kerajaan Melaka tetap tegak berdiri hingga beberapa masa.

Akhirnya versi ini sampai disini, seperti hikayat, kisah dongen pengantar tidur pada umumnya :( ... Adakah yang mengetahui kisah Hang Tuah sebagai sebuah sejarah ????

Ada satu lagi tentang review Hikayat Hang Tua yang ditulis di http://umrah.ac.id. Review yang satu ini saya agak mudah memahaminya :D. .......
Tujuan dan tema Hikayat Hang Tuah ditempatkan pengarangnya pada permulaan pengisahan.
“… Ini hikayat Hang Tuah yang amat setiawan pada tuannya dan terlalu sangat berbuat kebaktian kepada tuannya.” Jelaslah bahwa Hikayat Hang Tuah dimaksudkan oleh pengarangnya untuk menonjolkan ketokohan Hang Tuah dengan sifatnya yang taat dan setia kepada raja dan negara. Tokoh-tokoh lain diadakan, bahkan dikorbankan, untuk mendukung ketokohan Hang Tuah. Bukan hanya tokoh-tokoh yang tak terlalu ada kena-mengena dengan dirinya, bahkan, sahabatnya yang telah dianggap sebagai saudara kandungnya sendiri, Hang Jebat, harus dibunuh oleh Hang Tuah demi ketaatan dan kesetiaannya kepada raja (dan negara?).
Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu memang menjadi idola orang muda-muda Melayu, terutama Hang Tuah dan Hang Jebat. Kesempurnaan fisik dan sifat mereka sebagai wira sungguh memesona. Sifat mereka yang rajin menuntut ilmu dan bekerja keras memungkinkan mereka mengubah status diri dari hanya sebatas rakyat biasa menjadi pembesar negara. Mereka memperoleh status itu bukan secara terwaris, melainkan dengan jerih payah yang tanpa mengenal lelah dan putus asa. Keberanian mereka dalam membela negara tak ada tolok bandingnya.
Kecuali itu, jika Hang Tuah disebutkan “mulutnya dengan manisnya berkata-kata”, Hang Jebat pula diperikan oleh pengarang dengan “perkataannya keras”. Guru mereka Sang Aria Putera jauh-jauh hari lagi telah meramalkan bahwa kelima orang bersahabat itu akan menjadi pegawai besar.
Hang Tuah dan ketiga sahabatnya, sekali lagi kecuali Hang Jebat, juga diramalkan akan menerima nasib baik kemudian hari. Bahkan, Hang Tuah diberitahukan akan terbebas dari segala perbuatan hasad-dengki dan fitnah yang dihalakan (diarahkan) kepadanya. Akan tetapi, tak ada alamat baik yang disebutkan untuk Hang Jebat. Kesemuanya itu menjadi isyarat bahwa pada akhirnya Hang Tuah akan dipertentangkan dengan sahabatnya Hang Jebat.
Pada tokoh Bendahara Paduka Raja juga dapat diambil contoh ketaatan dan kesetiaan kepada raja dan negara. Selain itu, dari tokoh ini sangat patut ditiru kebijaksanaan, kearifan, dan kepiawaian dalam menyelamatkan negara dan raja. Dia pun adalah tokoh yang sangat santun berbahasa dan rendah hati. Dalam hal ini, Bendahara terkesan jauh lebih arif daripada raja sekalipun. Hanya karena jauh lebih tua dan tak bertempur langsung di medan perang, kendatipun dia yang mengatur strategi perang, Bendahara Paduka Raja berada di bawah ketokohan Hang Tuah.
Walaupun begitu, nilai-nilai patriotisme sangat ketara pada tokoh Bendahara ini. Ketokohannya mengingatkan orang akan tokoh Demang Lebar Daun di dalam Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu). (hmmm disini disebutkan lagi tentang Demang Lebar Daun, samakah dengan Demang Lebar Daun dari Palembang???? tanda tanya besar bagi saya #thinking) Tokoh raja pula diperikan sangat taksa, ambigu. Dia condong mempermainkan keadilan sesuai dengan seleranya, sewenang-wenang, dan sekehendak hatinya.
Kebijaksanaannya dalam menyelenggarakan negara dan memerintah membuat pembaca berasa kelam-kabut di dalam hati. Dari kebijaksanaannya yang terkesan tergesa-gesalah yang memunculkan tragedi “pendurhakaan” Hang Jebat. Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hang Tuah yang selama ini sangat taat dan setia kepada raja dan negara membangkitkan kemarahan Hang Jebat. Raja seolah-olah tak memiliki kecerahan dan kebeningan nurani untuk membedakan kasa dengan cindai; kaca dengan permata.
Secara objektif, pengarang seolah-olah hendak menegaskan bahwa selagi bernama manusia, raja pun memiliki kelemahan, di samping kelebihan yang ada padanya. Akan tetapi, para pembaca mempunyai tafsiran lain: “penguasa memang cenderung berlaku zalim.” Alhasil, tindakan Hang Jebat mendapat sokongan setidak-tidaknya dari sebagian pembaca.
Dalam keadaan serupa itu, tak ada jalan lain bagi Hang Jebat, selain menuntut bela. “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah,” ungkapannya yang terkenal itu terus terngiang-ngiang di dalam minda dan hati orang Melayu. Ungkapan itu menjadi setara, sejajar, sebanding, dan setanding dengan ucapanan Hang Tuah, “Tuah sakti hamba negeri, esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, tak Melayu hilang di bumi.” Nampaknya, kedua tokoh ini terus dan selamanya berupaya berebut simpati pembacanya dengan pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku khas mereka masing-masing. Tindakan Hang Jebat itu mengingatkan kita akan “Sumpah Setia Melayu” antara Demang Lebar Daun dan Sang Sapurba di dalam Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu). Dalam hal ini, bukankah raja yang mengubahkan (mengingkari) Sumpah Setia itu?
Maka sembah Demang Lebar Daun, “Adapun Tuanku segala anak-cucu patik sedia jadi hamba ke bawah duli Yang Dipertuan; hendaklah ia diperbaiki oleh anak-cucu duli Tuanku. Dan, (jika) ia berdosa, sebesar-besar dosanya pun, jangan ia difadhihatkan, dinista dengan kata yang jahat; jikalau besar dosanya dibunuh, itu pun jikalau berlaku pada hukum syarak.
Maka titah Sang Sapurba, “Hendaklah pada akhir zaman kelak anak-cucu Bapa hamba jangan durhaka pada anak-cucu kita, jikalau ia zalim dan jahat pekerti sekalipun.
Maka sembah Demang Lebar Daun, “Baiklah Tuanku, tetapi jikalau anak buah Tuanku dahulu mengubahkan dia, maka anak-cucu patik pun mengubahkanlah.
Maka titah Seri Tri Buana,”Baiklah, kabullah hamba akan waad itu.
Maka keduanya pun bersumpah-sumpahlah, barang siapa mengubahkan perjanjiannya itu dibalik(kan) Allah subhanahu wa taala bumbungan rumahnya ke bawah, kaki tiangnya ke atas.

Yaaa begitulaah hasil pencarian tentang kisah Hang Tuah ... Tapi saya masih bingung hubungan antara Hang Tuah, Demang Lebar Daun, Bukit Siguntang ??????
Jikalau ada yang mengetahui tentang kisah Hang Tuah berdasarkan sejarah bukan sekadar Hikayat bisa posting di comment. Terima Kasih/Syukron/thanks/arigatou gozaimasu/nuhun.

Share

0 komentar:

Ikuuuut yuuuuks ........